Rabu, 08 April 2015



Wayang Ramayana

Simpingan

Simpingan dalam wayang kulit berarti boneka wayang yang diatur berjajar pada kelir di sisi kanan -kiri dalang yang ditata sedemikian rupa. Simpingan merupakan salah satu unsur pergelaran wayang kulit.
Keberadaan simpingan dalam wayang mempunyai beberapa fungsi antara lain; sebagai hiasan (pajangan) agar bisa dinikmati oleh penonton, untuk mempermudah dalang dalam mencari dan mengambil wayang, sebagai tanda akan adanya pergelaran wayang kulit,untuk menunjukan kualitas dan kuantitas wayang. Disamping itu simpingan mempunyai makna simbolik bagi masyarakat pendukungnya.
Pada zaman dulu simpingan hanya terdiri dari puluhan wayang. Karena memang jumlah wayang satu kotak berkisar antara 180-250 wayang, tetapi sekarang terutama di kota-kota besar, jumlah simpingan sangat banyak antara 250 - 500 wayang. Hal ini karena tuntutan pasar dan biasanya pergelaran di kota besar ditempatkan pada lapangan terbuka. Sehingga diperlukan penataan simpingan yang panjang.
Simpingan wayang ditata sedemikian rupa berdasarkan golongan, warna muka, bentuk muka,arah pandangan muka, bentuk bibir, bentuk mata, warna badan, jenis pakaian, jenis jangkahan dan sebagainya. Simpingan wayang dikatakan bagus jika enak dipandang, seimbang dan "ribig" artinya antara bahu dan palemahan wayang dari yang paling tinggi hingga yang terpendek sejajar bila ditarik garis lurus. Penataan simpingan wayang yang baik dapat dijumpai pada pergelaran wayang di Jakarta.
Berita mulai adanya simpingan baru ada pada abad ke XII seperti yang tercantum pada Serat Wrettasancaya bahwa pertunjukan wayang kulit saat itu sudah menggunakan simpingan. Adapun teks yang melukiskan adanya simpingan ditulis oleh Empu Tan Akung dengan bahasa jawa kuno pada bait 93 pada Sekar Ageng Madraka ditulis;
" Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis/ bung-bung ingkang petung kapawanan/ ya teka tudungnya munya hangrangin/ peksi ketur salundingan ika kinangyani pamangsul ing kidang alon/ madraka sabdaning mrak alango / pangidungnya mangrasi ati". (Hazeu 1978:42)
Kern menterjemahkan ke dalam bahasa jawa sebagai berikut"
"Nalika semanten katingal sakalangkung asri raras, Redi-redi pating regemeng, sakathahing wit-witan kados ringgit, tumawenging mega tipis lamat-lamat kados rupining kelir, deling ingkang growong kados ungeling tudungan,mungel angrangin anganyut manah, pamelunging peksi ketur (manuk gemak) kados ungeling kempul lan gongipun. Cumengering kidang lamat-lamat kados swantening saron ngelik kaimbalaken, dene ungeling merak ngigel lelaken kados kekidungan sekar madraka angrerujit manah".
Terjemahan bahasa Indonesia:
"Ketika itu pemandangan alam sangat indah dan permai selaras adanya. Gunung-gunung bertanaman penuh, Pohon-pohonya laksana wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog. Mega tipis yang hampir tak kelihatan meliputi alam laksana kelir. Bambu-bambu petung berlobang tertiup angin menimbulkan bahana laksana tudungan (suling) yang seakan -akan datangnya dari jauh, sangat menarik hati. Suara gemak terdengar laksana suara kempul gong. Di antara kesemuannya itu suara teriakan Kijang dari jauh terdengar sayup-sayup menyamai bunyi saron yang dipukul imbal (bergantian). Suara burung merak yang melampiaskan hasrat asmaranya, suaranya terdengar sangat merdu laksana lagu madraka yang meluluhkan hati.(Seno Sastroamijoyo 1964 : 19)
Bukti lain bahwa pertunjukan wayang pada abad XII menggunakan kelir juga terdapat dalam Serat Bomakawya pada diskripsi Raden Samba ketika melintasi daerah pegunungan yang dilukiskan sebagai berikut;
"'Lumaku tikang ratha gelis, palapat hanar kajawahan hawan ira sumare saking geger,papagan katon kakeliran limut awayang,ulah nikang pisang'"(Bomakawya VI : 3).
Terjemahan bahasa Indonesia
"Kereta membawa dengan cepat lewat jalan punggung gunung menuju satu tempat yang datar dan baru saja dibasahi oleh turunnya hujan. Sawah-sawah terselubung kabut seolah-olah tersembunyoi di belakang kelir. Pohon pisang yang bergoyang-goyang lembut bagaikan boneka wayang". (Zoetmulder 1985 : 266).
Selanjutnya timbulnya simpingan dapat diketahui pada zaman Demak ketika Raden Patah menjabat sebagai raja. Boneka wayang kulit sudah mengalami perunahan bentuk dan penambahan wayang baru oleh para Wali, hal ini dikemukakan Hazeu sebagai berikut;
"Sunan Giri menambah wayang berujud kera dengan dua mata seperti raksasa. Sunan Bonang menambah wayang berupa Gajah,Kuda dan Rampogan. Sedangkan Suna Kalijaga menambah peralatan wayang kulit berupa layar, batang pisang,untuk menancabkan wayang serta Blencong (lampu) untuk penerangan. Sultan Demak menambah wayang Gunungan yang ditancapkan di tengah kelir serta cara-cara menyumping (mengatur wayang di layar) yakni dengan cara di tancapkan berjajar pada sebelah kanan kiri Dalang agar cukup untuk mendalang satu malam.
contoh simpingan ramayana punya ki manteb sudarsana lakon brubuh alengka
































Tokoh Ramayana

Ramawijaya






Negeri Ayodya adalah sebuah negeri yang memiliki wilayah yang luas dan subur. Rajanya bernama Dasarata. Ia memerintah kerajaan tersebut dengan adil dan bijaksana sehingga kehidupan rakyatnya menjadi aman dan damai.
Raja Dasarata memiliki watak kepanditaan pula. Ia amat menjunjung ajaran-ajaran tentang kebenaran. Karenanya rakyat Ayodya amat mencintai rajanya.
Rakyat Ayodya hidup tolong- menolong dan bergotong-royong. Mereka bekerja giat dan selalu patuh terhadap undang-undang Negeri Ayodya.
Prabu Dasarata mempunyai tiga orang permaisuri yaitu Kausalya, Kaikayi, dan Sumitra. Kausalya berputra Ramawijaya, Kaikayi berputra Barata, dan Sumitra berputra kembar, yaitu Laksamana dan Satrugna. Sifat dan watak para putra itupun amat terpuji. Mereka adalah satria yang berbudi luhur. Mereka amat mencintai rakyatnya sehingga rakyatnya pun amat berbakti.
Ramawijaya adalah seorang satria yang pandai berperang. Walaupun sikapnya lemah-lembut, tetapi ia tangkas menggunakan senjata, terutama panah. Ia rajin berlatih menggunakan panah sehingga tak ada satria lain yang mampu mengalahkan kepandaiannya dalam memanah. Busur yang seberapapun besarnya dapat dilengkungkan olehnya, dan sasaran yang betapapun jauhnya selalu terbidik dengan tepat.
Bala tentara Ayodya pun amat besar dan kuat serta memiliki pasukan berkuda yang tangguh. Gajah-gajah pun digunakan untuk berperang. Syahdan, datanglah seorang pendeta mengunjungi istana Ayodya. Ia bernama Bagawan Wiswamitra. Karena Prabu Dasarata sangat menghargai kehidupan beragama maka kedatangan Bagawan Wiswamitra disambut dengan segala kehormatan.
Bagawan Wiswamitra bertempat tinggal jauh dari kota Ayodya. Kedatangannya ke Ayodya kali ini bertujuan untuk meminta bantuan agar Sang Prabu menghalau raksasa-raksasa yang sering mengganggu ketentraman penduduk desa.
Sudah agak lama pertapaan Sang Bagawan selalu didatangi para raksasa perusuh dari negeri Raja Tatsaka. Mereka merusak sawah dan ladang para cantrik serta menangkap dan merampas ternak. Jika mereka tidak mendapatkan ternak, siapapun yang ditemuinya ditangkapnya pula dan dijadikan mangsa.
Penduduk desa di sekitar pertapaan Sang Bagawan sudah pernah mengadakan perlawanan tetapi karena jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah raksasa maka para raksasa itu tak dapat dikalahkan.
Para raksasa perusuh itu pun semakin kejam dan ganas. Prabu Dasarata amat bersedih mendengar pengaduan Bagawan Wiswamitra. Putranda Ramawijaya dan Laksamana dipanggilnya lalu diperintahkannya menumpas para raksasa yang membuat kekacauan di pertapaan Bagawan Wiswamitra.
Maka berangkatlah Ramawijaya dan Laksamana beserta pasukan Ayodya. Kedatangan para satria Ayodya itu pun disambut oleh para raksasa dengan geram. Pasukan Ayodya berperang dengan gagah berani sehingga para raksasa itu tumpas. Raja Tatsaka terbunuh oleh panah Ramawijaya.
Setelah para raksasa terusir, Bagawan Wiswamitra beserta para cantrik kembali ke pertapaannya. Para penduduk membersihkan puing-puing yang berserakan akibat peperangan. Rumah-rumah penduduk yang dirusak oleh para raksasa kini diperbaiki dan dibangun lagi.
Mereka juga mulai beternak. Sawah dan ladang yang rusak mereka cangkul dan garap lagi. Saluran-saluran air digali pula. Tanah-tanah yang baru dibuka dijadikan tanah garapan, dibagi-bagi dalam petak-petak persawahan, dan diairi. Benih-benih disebarkan.
Kuil-kuil yang runtuh pun mereka bangun kembali. Di bawah pimpinan Bagawan Wiswamitra, mereka berdoa dan menyelenggarakan upacara-upacara pemujaan. Mereka memanjatkan doa agar memperoleh ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan, serta dijauhkan dari segala penyakit dan perang.
Ramawijaya dan Laksamana kadangkala masih mengunjungi pertapaan Sang Bagawan untuk berjaga-jaga kalau masih ada raksasa yang hendak mengganggu ketentraman penduduk.
Tersebutlah Maharaja Janaka yang bertakhta di Negeri Mantilireja. Sang Raja mempunyai seorang putri yang amat cantik jelita. Putri yang halus budi bahasanya itu bernama Sita. Setelah Sita dewasa, Sang Raja mengadakan sayembara. Barang siapa yang mampu mengangkat busur Sang Raja dan melengkungkannya hingga patah, ia akan dikawinkan dengan Sita.
Berpuluh-puluh pangeran dan satria datang ke Istana Mantilireja hendak mengikuti sayembara itu. Satu persatu mereka mencoba mengangkat busur Sang Raja, tapi tak seorang pun kuat mengangkatnya.
Ramawijaya dan Laksamana demi mendengar berita sayembara itu, dan atas nasehat Bagawan Wiswamitra, berangkatlah ke Mantilireja hendak mengikuti sayembara. Setibanya di Mantilireja, Ramawijaya diijinkan mencoba mengangkat busur pusaka itu. Ternyata kekuatan Ramawijaya membuat Prabu Janaka kagum dan heran. Busur yang amat besar itu dengan mudah diangkat oleh Ramawijaya, lalu dilengkungkannya sampai patah.
Prabu Janaka dengan rela menganugerahkan puterinya, Sita, menjadi isteri Rama. Pesta perkawinan Rama dan Sita dirayakan selama empat puluh hari empat puluh malam. Prabu Dasarata pun hadir. Rakyat bersuka ria. Upacara perkawinan itu dilangsungkan menurut adat kebesaran istana.
Setelah kedua mempelai tinggal agak lama di Mantili, tibalah waktunya untuk pulang kembali ke Ayodya. Dengan diantar Laksamana dan kaum kerabat istana, berangkatlah iring-iringan mempelai kerajaan Mantili menuju Ayodya.
Jarak antara Ayodya dan Mantili cukup jauh dan harus ditempuh melalui hutan belantara serta harus mendaki gunung dan menuruni lembah. Di tengah perjalanan tiba-tiba rombongan pengantin baru itu dicegat oleh Ramaparasu, seorang pertapa tua.
Ramaparasu, atau juga sering disebut Jamadagni, memperoleh sebuah panah sakti pemberian dewa ketika ia sedang bertapa. Demi kesempurnaan jiwanya di alam baka, ia harus meninggal karena panah itu. Karena itu ia mengembara kemana-mana untuk mencari seseorang yang sanggup mengangkat panah itu dan memanahnya sekali hingga ia menemui ajal.Telah banyak orang yang ditemuinya tapi tak ada yang kuat mengangkat busur panah itu.
Ramaparasu mendengar pula bahwa Rama memenangkan sayembara mengangkat busur di Negeri Mantili. Karena itu Ramaparasu hendak menemui Rama. Setelah berhasil menemui Rama di tengah hutan, Ramaparasu minta dibunuh dengan panah pusakanya agar nyawanya sempurna di alam baka. Namun demikian, jika Rama tak sanggup mengangkat busur panah itu, ia harus rela pula dibunuh dengan panah tersebut.
Rama menyanggupi. Busur pusaka itu diangkatnya lalu dilepaskanlah sebuah anak panah. Anak panah itu terbang dengan cepat menancap di tubuh Ramaparasu. Tubuh Ramaparasu rubuh terkulai lalu ia meninggal seperti cara yang dikehendakinya.
Ramawijaya dan Sita tiba di Negeri Ayodya dengan selamat. Mereka tinggal dalam sebuah istana yang amat indah. Rama dan Sita amat berbakti kepada ayahanda Raja Dasarata. Mereka pula amat mencintai saudara-saudaranya meskipun berbeda ibu.
Pada suatu hari datanglah utusan dari negeri Kaikeya, yaitu negeri kakek Barata, yang meminta agar Barata sudi menengok negeri leluhurnya.
Prabu Dasarata mengijinkan. Maka diperintahkanlah Barata serta adiknya Satrugna pergi ke negeri Kaikeya. Rama dan Sita dengan berat hati melepas keberangkatan kedua adiknya yang amat dicintainya itu. Konon Raja Dasarata merasa usianya telah lanjut. Ia berniat hendak menyerahkan mahkota kerajaan kepada Rama.
Tapi sebelum keputusan hatinya itu diumumkan, ia hendak bertanya dan meminta pertimbangan rakyatnya. Maka di depan segenap rakyatnya Raja Dasarata menyatakan niatnya hendak mengundurkan diri dari takhta kerajaan. Karena ia sudah berusia lanjut, maka perlulah kiranya diganti oleh seorang raja yang lebih muda dan lebih kuat memegang tampuk pemerintahan. Niat pengunduran dirinya itu dimaksudan agar Negeri Ayodya lebih sentosa dan makmur di masa-masa yang akan datang.
Para pembesar negara dan rakyat yang mendengar pengumuman raja itu menyatakan persetujuannya. Mereka berpendapat bahwa rajanya telah mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya selama ini sehingga tercipta kemakmuran dan kesentosaan negeri. Mereka selanjutnya bertanya, siapakah gerangan yang hendak diangkat menjadi pengganti raja.
Prabu Dasarata kemudian menyatakan keputusan hatinya bahwa Ramawijaya hendak diangkatnya sebagai raja pengganti. Maka dengan suara gemuruh, para pembesar negeri dan rakyat menyatakan persetujuannya. Raja Dasarata mendengar persetujuan rakyatnya itu menjadi terharu. Namun demikian, ia bertanya mengapakah para pembesar negeri dan segenap rakyat menyetujui pengangkatan Rama.
Maka segenap rakyat menjawab bahwa Rama memang pantas menjadi raja. Rama telah membuktikan keberanian dan kesungguhannya membela rakyat, menolong setiap rakyat yang berada dalam kesulitan dan memberantas segala kekacauan. Rama seorang satria sejati dan kepandaiannya berperang selalu dipergunakan bagi kepentingan rakyat. Raja Dasarata amat terharu saat mengetahui betapa segenap rakyat menaruh cinta kepada Rama. Maka Sang Raja memerintahkan agar dimulai persiapan upacara penobatan Rama sebagai raja.
Para pembesar negara dan rakyat yang mendengar pengumuman raja itu menyatakan persetujuannya. Mereka berpendapat bahwa rajanya telah mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya selama ini sehingga tercipta kemakmuran dan kesentosaan negeri. Mereka selanjutnya bertanya, siapakah gerangan yang hendak diangkat menjadi pengganti raja.
Prabu Dasarata kemudian menyatakan keputusan hatinya bahwa Ramawijaya hendak diangkatnya sebagai raja pengganti. Maka dengan suara gemuruh, para pembesar negeri dan rakyat menyatakan persetujuannya. Raja Dasarata mendengar persetujuan rakyatnya itu menjadi terharu. Namun demikian, ia bertanya mengapakah para pembesar negeri dan segenap rakyat menyetujui pengangkatan Rama.
Maka segenap rakyat menjawab bahwa Rama memang pantas menjadi raja. Rama telah membuktikan keberanian dan kesungguhannya membela rakyat, menolong setiap rakyat yang berada dalam kesulitan dan memberantas segala kekacauan. Rama seorang satria sejati dan kepandaiannya berperang selalu dipergunakan bagi kepentingan rakyat. Raja Dasarata amat terharu saat mengetahui betapa segenap rakyat menaruh cinta kepada Rama. Maka Sang Raja memerintahkan agar dimulai persiapan upacara penobatan Rama sebagai raja.
Tersebutlah seorang abdi istana bernama Mantara. Ia adalah seorang abdi dari permaisuri Kaikayi dan pengasuh Pangeran Barata sejak kecil. Ia membujuk permaisuri Kaikayi agar memohon Prabu Dasarata untuk membatalkan niatnya yang hendak menobatkan Rama. Ia pula membujuk agar Kaikayi menuntut Sang Raja untuk menobatkan Pangeran Barata, dan bukannya Rama, sebagai raja.
Mula-mula Kaikayi tidak terbujuk, tapi lama-lama timbul pula iri dalam hatinya, mengapa putera Kausalya yang diangkat sebagai pengganti raja. Pada suatu malam Raja Dasarata mendapatkan Kaikayi sedang menangis. Raja amat sedih melihatnya, lalu dia bertanya apa yang menyebabkan Kaikayi menangis.
Kaikayi segera menagih janji, yaitu pengangkatan Barata sebagai raja. Bukankah dulu ketika Raja Dasarata meminangnya ia berjanji kelak akan mengangkat putera Kaikayi sebagai raja penggantinya. Karena itu Kaikayi menuntut agar Sang Raja mengurungkan niatnya yang hendak mengangkat Rama sebagai raja. Mendengar tuntutan Kaikayi itu hati Raja Dasarata pun menjadi amat sedih.
Raja Dasarata semakin pedih hatinya ketika mendengar tuntutan Kaikayi agar Rama beserta Sita istrinya diusir dari istana dan dibuang kedalam hutan Dandaka selama empat belas tahun.
Hati Dasarata amat bingung karena persiapan penobatan Rama menjadi raja telah selesai. Maka pada keesokan harinya ketika hari masih pagi buta, Rama dipanggil menghadap. Ketika Rama datang bersembah di hadapannya, Raja Dasarata tak sanggup menyampaikan isi hatinya.
Maka Kaikayilah yang memerintahkan Rama agar Rama bersama Sita meninggalkan istana dan pergi mengembara dalam pembuangan di hutan Dandaka selama empat belas tahun. Wajah Rama tetap tenang mendengar perintah itu. Sebagai satria ia akan memenuhi perintah ayahnya, betapapun berat perintah itu.
Rama menyembah, lalu minta diri dari ayahandanya. Dengan tenang pula ia menyampaikan perintah itu kepada Sita, lalu bersiap untuk berangkat. Dengan diiringi ratap tangis para abdi istana maka berangkatlah Rama dan Sita menuju hutan Dandaka. Laksamana yang amat menyintai Rama kakaknya, ikut pula dalam pengembaraan itu.
Raja Dasarata amat sedih hatinya karena ditinggal oleh Rama, Sita dan Laksamana. Malam hari ia tak dapat tidur karena teringat akan pengalamannya sendiri dikala masih muda. Maka pengalamannya itu diceritakanlah kepada Kausalya.
“Kausalya, kala aku masih muda, aku amat pandai memanah. Pada suatu malam aku mengendarai keretaku di sepanjang Sungai Serayu. Kala itu banyak binatang seperti gajah, harimau dan kijang sering minum di tepi sungai. Walaupun aku tak bisa melihat tubuh binatang itu, aku dapat membidiknya dengan panahku. Hanya dari mendengar suara binatang itu saja aku dapat memanahnya.
Suatu saat aku mendengar sebuah suara, lalu kupanah. Ternyata itu bukanlah seekor binatang tapi seorang pemuda. Sambil mengerang kesakitan ia minta kepadaku agar pasu yang berisi air di sampingnya aku antarkan kepada kedua orang tuanya yang buta. Ia pun segera tewas karena panahku.
Pasu itu lalu kuantarkan kepada orang tua pemuda itu. Mereka sedang kehausan. Lalu kuceritakan peristiwa yang kualami seraya kuminta maafnya atas kesalahanku. Dan orang tua itu pun meramalkan bahwa aku kelak akan merasakan betapa pedihnya ditinggalkan anak yang kucintai.” Sehabis bercerita demikian, Raja Dasarata pun wafat.
Barata dan Satrugna demi mendengar kematian ayahandanya segera pulang ke Ayodya. Mereka pun amat bersedih karena Rama, Sita dan Laksamana tengah hidup dalam pembuangan. Ketika Barata hendak diangkat sebagai raja, ia pun menolak, bahkan ia hendak mencari Rama agar sudi pulang ke Ayodya dan segera duduk di singgasana.
Atas petunjuk Bagawan Wasista, Barata dan Satrugna berhasil menemui Rama, Sita dan Laksamana di tengah hutan. Dipeluknya kaki Rama, lalu meminta agar Rama segera pulang dan naik ke singgasana kerajaan. Tapi Rama menolak karena ia hendak memenuhi perintah ayahandanya, yaitu hidup dalam pembuangan selama empat belas tahun. Barata disuruhnya kembali ke Ayodya untuk menjaga istana yang kosong.
Barata pun kembali ke istana. Dibawanya serta terompah Rama yang akan ditaruh di atas singgasana sebagai perlambang keberadaan Rama di sana. Di negeri Ayodya, Barata memerintah atas nama kakaknya, Ramawijaya.
Sekembalinya Barata ke Ayodya, Rama beserta Sita dan Laksamana meneruskan pengembaraanya. Mereka mengunjungi tempat pemujaan dan melakukan berbagai upacara. Mereka memuja Dewa Indra yang menguasai mega, mendung dan hujan, Dewi Agni yang menguasai api, Dewa Kuwera yang menguasai kekayaan, Dewa Wiwasata yang menguasai langit biru, Dewa Bayu yang menguasai angin, Dewa Waruna yang menguasai lautan, dan juga Dewa Yama yang menguasai kematian.
Rama, Sita dan Laksamana juga mengunjungi para pertapa dan meminta petuah serta nasehat sebagai bekal kesempurnaan hidup. Mereka juga mengunjungi Sang Agastya, seorang pertapa yang sakti. Tetapi dalam pengembaraanya itu mereka pun sering menjumpai raksasa yang menganggu ketentraman.
Pada suatu ketika mereka dicegat oleh Raksasa Wirada yang hendak menculik Sita. Tapi sebelum ia berhasil melaksanakan niatnya, panah Rama telah mendahului bersarang di dada raksasa itu
Selama dalam pengembaraan, disamping membinasakan raksasa-raksasa jahat, Rama, Sita dan Laksamana juga berbuat kebaikan dan menolong orang-orang desa yang memerlukan perlindungan. Sebagai seorang satria, Rama ingin mengabdikan hidupnya bagi perikemanusiaan.
Di tengah hutan Dandaka, Rama mendirikan sebuah pondok kayu. Setiap hari Rama berburu binatang untuk persediaan makanan, sementara Laksamana mencari buah-buahan. Sita selain menyiapkan makanan, juga mencari kembang untuk keperluan upacara pemujaan.
Rama amat gemar berburu rusa. Pulang dari perburuan, rusa itu disembelih lalu dagingnya diiris-iris dan dijemur agar kering. Sita selalu menjaga daging rusa yang sedang dijemur itu. Tapi burung-burung gagak senantiasa mencium baunya. Beramai-ramai mereka menyambar jemuran daging itu hingga habis.
Pada suatu hari Rama tidak pergi berburu karena dia ingin tahu binatang apakah yang selalu mencuri dan menghabiskan jemuran dagingnya. Diapun mengintai. Ternyata burung-burung gagaklah yang mencurinya. Sambil berlindung Rama membidik burung-burung pencuri itu dengan panah. Satu persatu burung-burung pencuri itu terkena anak panah dan tubuhnya jatuh berserakan. Sejak itu jemuran daging Sita tak ada lagi yang mencuri.
Di tengah hutan Dandaka mengembaralah pula raksasi Sarpakenaka, puteri negeri Langkapura. Ia diiringi oleh dua raksasa pengawal yang bernama Kara dan Dusana. Demi melihat Rama yang rupawan, Sarpakenaka segera tertarik hatinya. Ia segera menjelma menjadi seorang puteri yang cantik, lalu ia menemui Rama.
Sebagai seorang satria yang setia kepada isterinya, Rama menolak permintaan Sarpakenaka walaupun ia telah menjelma sebagai puteri jelita. Ia bertanya apakah Sarpakenaka tidak tertarik pada Laksmana.
Sarpakenaka pun segera menemui Laksamana dan mengutarakan maksudnya. Namun Laksamana pun menolaknya, bahkan hidung dan telinga Sarpakenaka dilukainya. Karena terluka, Sarpakenaka menjerit kesakitan dan menjelma kembali sebagai raksasi, lalu ia lari ke dalam hutan belantara. Peristiwa itu lebih menyadarkan Rama dan Laksamana bahwa sebagai satria banyaklah gangguan dan godaan yang harus diatasi.
Jerit kesakitan Sarpakenaka terdengar oleh pengawalnya, Kara dan Dusana. Betapa kaget dan marahnya kedua raksasa itu melihat junjungannya terluka parah. Keduanya segera mengancam Rama dan Laksamana untuk balas dendam. Tapi sebelum mereka dapat membalaskan dendam junjungannya, panah Rama dan Laksamana telah membunuhnya.
Sarpakenaka segera lari pulang ke Langkapura. Ditemuinya Dasamuka kakaknya yang sedang beristirahat di balai peranginan. Sambil berurai air mata ia mengadukan Rama dan Laksamana yang dikatakannya telah menyiksanya di tengah hutan Dandaka.
Selain itu ia membakar hati Rahwana agar menculik Sita, karena Sita seorang puteri yang cantik jelita dan pantas menjadi permaisuri. Sarpakenaka pun mengadu bahwa Kara dan Dusana telah dibunuh pula oleh kedua satria Ayodya itu.
Rahwana terbakar hatinya. Ia berencana untuk membalas dendam terhadap kedua satria Ayodya itu, sekaligus hendak menculik Sita. Rahwana segera memanggil abdi kepercayaanya, Marica. Disuruhnya Marica pergi ke hutan Dandaka untuk melihat pondok tempat tinggal Rama, Sita, dan Laksamana. Marica menyatakan kesanggupannya melaksanakan tugas Sang Raja, lalu ia bertanya tugas apa yang harus dilakukannya.
Rahwana menyuruh Marica menjelma menjadi seekor kijang kencana dengan tanduk yang bertahtakan intan berlian. Rahwana sendiri akan menjelma sebagai pertapa tua. Maka berangkatlah Rahwana dan Marica ke hutan Dandaka.
Marica segera menjelma menjadi seekor kijang kencana. Begitu melihatnya, hati Sita segera tertarik dan ia ingin menangkap serta memelihara kijang kencana tersebut. Tapi kijang itu amat sukar ditangkap. Sita meminta Rama agar Rama menangkap kijang itu untuknya.
Ketika Rama hendak menangkapnya, kijang itu lari ke dalam hutan. Sita mendesak Rama agar mengejarnya. Maka pergilah Rama hendak menangkap kijang itu. Sebelum pergi ia berpesan kepada Laksamana agar menjaga Sita dan jangan sekali-kali meninggalkan Sita seorang diri.
Sambil menyandang busur dan anak panah Rama pergi ke dalam hutan untuk menangkap sang kijang kencana. Diburunya kijang itu, dan akhirnya dipanahlah agar tak dapat berlari lagi. Marica terkena panah lalu ia menjerit. Suaranya meniru suara Rama yang menjerit minta pertolongan.
Mendengar jerit Rama Sita segera menyuruh Laksamana agar pergi memberi pertolongan kepada Rama. Mula-mula Laksamana tak percaya bahwa Rama berada dalam keadaan bahaya karena Rama adalah seorang satria yang pandai berburu dan berperang. Lagipula Laksamana tak mau meninggalkan Sita karena ia telah dipesan agar selalu menjaga Sita. Sita menjadi marah dan menuduh Laksamana menghendaki dirinya.
Dengan berat hati Laksamana terpaksa meninggalkan Sita. Ia berpesan agar Sita dapat menjaga dirinya. Tak lama kemudian muncullah seorang pertapa tua yang berjalan terhuyung-huyung karena kehausan. Ia meminta air minum pada Sita. Sita pun segera memberinya.
Tapi pertapa tua itu segera menjelma sebagai Rahwana, raja raksasa yang mengerikan wajahnya. Rahwana menyatakan kehendaknya memperisteri Sita. Tapi Sita menolaknya. Rahwana menjadi tidak sabar. Diringkusnya Sita, lalu dibawanya terbang. Sita menjerit-jerit dan meronta-ronta, tapi Rahwana amat kuat tangannya sehingga Sita tak berdaya. Sambil meringkus Sita, Rahwana terbang kembali ke Langkapura.
Sita meronta-ronta dan menjerit-jerit, tapi sia-sia. Tangan Rahwana menjadi sepuluh pasang, begitu pula mukanya menjadi sepuluh. Itulah sebabnya ia dijuluki Dasamuka. Sita terus berteriak-teriak menyebut nama Rama. Sita kini sadar akan kesalahannya. Ia tak mengikuti nasehat Laksamana, bahkan berprasangka buruk terhadap iparnya itu.
Konon, adalah seekor burung garuda, Jatayu namanya. Ia sahabat Rama. Demi mendengar nama Rama yang dijeritkan Sita, terbanglah ia hendak memberi pertolongan. Rahwana disambarnya berkali-kali, dipatuknya dan dicakarnya. Sita hendak direbutnya.
Rahwana marah karenanya, lalu ia menghunus senjata. Terjadilah pertarungan di angkasa. Garuda Jatayu terluka parah sehingga tak dapat terbang lagi. Sita yang mengetahui bahwa garuda itu membelanya segera melepaskan cincinnya. Cincin itu lalu dilemparkannya kepada Jatayu agar diberikan kepada Rama. Jatayu terkulai jatuh ke bumi, tubuhnya mandi darah.
Rama dan Laksamana kembali ke pondoknya. Tapi betapa kagetnya mereka karena Sita tidak berada di sana. Menitiklah air mata Rama karena sedihnya. Keluhnya terbawa angin menerobos hutan dan terbawa debur gelombang lautan. Laksamana pun tak henti-hentinya menyesali dirinya karena pergi meninggalkan Sita.
Kedua satria itupun pergilah mencari Sita. Dijelajahinya rimba belantara, didakinya bukit, dan dituruninya lembah. Namun tiada jejak sedikitpun yang ditemukannya.
Akhirnya Rama melihat seekor burung garuda yang terkapar di tanah tanpa daya. Hanya pada paruhnya terdapat sebentuk cincin. Rama mengamati cincin itu dan seketika itu juga dikenalinya sebagai cincin Sita.
Jatayu dengan tersendat-sendat berkata bahwa Sita dilarikan oleh raja raksasa Rahwana. Jatayu tak dapat berkata lebih banyak karena tubuhnya telah lemah lunglai dan kehabisan tenaga. Sesaat kemudian Jatayu pun menghembuskan nafas penghabisan. Rama menyadari bahwa garuda yang telah tiada itu adalah sahabatnya. Sebagai penghormatan terakhir, burung garuda itu pun dibakarnya dengan disertai upacara yang khidmat.
Walaupun Rama dan Laksamana telah mengetahui siapa yang melarikan Sita, tetapi mereka belum mengetahui nama dan letak negara raja raksasa itu. Maka mengembaralah kedua satria itu mendaki gunung-gunung yang tinggi, menyusuri tebing-tebing yang curam, dan menuruni lereng-lereng yang terjal.
Tiba-tiba dari balik semak belukar muncullah makhluk yang aneh wujudnya. Tubuhnya seperti raksasa tetapi berkepala dua. Salah sebuah kepalanya terletak pada bagian perut.
Dengan suara mendesis-desis, raksasa itu segera menyerang Rama dan Laksamana. Sangatlah sukar bagi Rama dan Laksamana untuk berperang karena tempat itu penuh dengan semak belukar dan akar-akar pohon yang melintang menghambat gerak.
Rama menjauhi tempat itu lalu dibidiknya raksasa itu dengan panahnya. Sesaat kemudian terlepaslah sebuah anak panah dari busurnya. Anak panah itu menembus dada sang raksasa. Tiba-tiba raksasa itu berubah menjadi dewa. Rama dan Laksamana menghampiri dewa itu lalu menyembahnya.
Dewa itu bercerita bahwa ia dahulu terkena kutuk Hyang Siwa sehingga ia berubah menjadi raksasa berkepala dua. Ia menyatakan terima kasihnya kepada Rama yang telah memanahnya sehingga ia berubah kembali menjadi dewa.
Rama dan Laksamana meneruskan perjalanannya. Tibalah keduanya pada sebuah telaga lalu mereka beristirahat di tepi telaga itu. Air telaga itu amat jernih sehingga tampak ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Berbagai jenis ikan itu berenang kian kemari.
Ikan-ikan tersebut bermacam-macam warnanya. Ada yang kuning keemasan, merah berkilauan, biru, putih, dan kelabu. Udang, kepiting dan penyu tampak pula menghuni telaga itu. Bunga-bunga teratai mekar di permukaan air telaga. Ada yang merah dan ada yang putih.
Begitu asyiknya Rama dan Laksamana menikmati keindahan alam sehingga mereka tidak mengetahui bahwa di belakangnya ada seekor buaya yang mengintai. Mulut buaya itu terbuka lebar-lebar dan siap hendak menyambar.
Tetapi kedua satria itu telah terlatih untuk menghadapi setiap bahaya. Ketika buaya itu mulai bergerak hendak menyergap, Rama dan Laksamana segera membalikkan badan sambil meloncat menghindari sergapan. Dengan mudah buaya itu dibunuhnya dengan senjata.
Ternyata buaya itu adalah penjelmaan seorang dewi yang dahulu terkena kutukan dewa. Kini dewi itu terbebas dari kutukan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Rama dan Laksamana, dewi itu terbang kembali ke sorga.
Sebelum dewi itu terbang kembali ke sorga, ia berpesan kepada Rama agar Rama dan Laksamana pergi ke hutan Pancawati. Di hutan itulah akan didapatkan petunjuk guna mencari Sita.
Maka berangkatlah Rama dan Laksamana menuju hutan Pancawati. Betapa jauhnya mereka berjalan, menerobos semak belukar, mendaki gunung, kemudian menyusuri tepi pantai. Betapa damai hati kedua satria itu melihat langit yang kebiruan. Sejauh mata memandang tampak cakrawala dan permukaan samudra yang luas.
Kedua satria Ayodya itu berteduh di bawah pohon yang rindang. Tiba-tiba muncullah seekor kera putih yang sejak tadi telah mengintai perjalanan kedua satria itu. Kera putih itu tampak bijaksana, bahkan amat sopan sikapnya terhadap Rama dan Laksamana. Kera putih itu menyembah di hadapan Rama. Ia menyebut namanya, Hanuman, dan ia berasal dari Pancawati.
Rama dan Laksamana heran menyaksikan kera putih Hanuman yang dapat berbicara seperti manusia. Hanuman bercerita bahwa rajanya yang bernama Sugriwa berada di hutan Pancawati karena diusir dari kerajaan Kiskenda oleh kakaknya yang bernama Subali. Hanuman memohon Rama untuk menolong Sugriwa menduduki kembali takhta kerajaannya.
Rama menyanggupi. Rama pun bercerita bahwa pengembaraannya di hutan itu sebenarnya untuk mencari istrinya yang diculik oleh raja raksasa Rahwana. Dengan diantar Hanuman, Rama dan Laksamana pergi menuju hutan Pancawati. Sebagai penunjuk jalan Hanuman mendahului mereka sambil meloncat di antara pepohonan.
Ketika tiba di suatu tempat Rama merasa kehausan. Laksamana disuruhnya mencari air. Pada sebuah batang pohon Laksamana melihat air mengalir turun ke bawah. Maka ditampungnya air itu dengan buluh. Ternyata air itu adalah air mata Sugriwa yang tengah bertapa duduk di atas sebatang pohon yang tinggi.
Hanuman segera memanjat pohon itu. Lalu Sugriwa pun turun dan bertemu dengan Rama dan Laksamana. Sugriwa amat terharu mendengar kisah Rama yang tengah hidup dalam pembuangan. Ditambah pula ia kehilangan istrinya karena diculik oleh raja raksasa Rahwana. Sugriwa berjanji akan membantu Rama mencari Sita.
Rama pun merasa senasib dengan Sugriwa yang terusir dari kerajaanya. Satria Ayodya itu menyatakan kesediaannya membantu Sugriwa merebut kembali takhtanya yang diduduki oleh Subali.
Sugriwa diantar oleh Rama pergi ke kerajaan Kiskenda. Hanuman dan para kera yang ribuan jumlahnya ikut pula mengiringkan. Sesampainya di depan istana Kiskenda Sugriwa berteriak-teriak memanggil Subali sambil menantang berperang tanding. Suara Sugriwa begitu kerasnya sehingga Subali terkejut.
Hati Subali amat panas demi mendengar tantangan adiknya. Timbullah amarahnya, lalu ia bangkit dan keluar dari istana. Ia hendak memenuhi tantangan Sugriwa. Maka berhadap-hadapanlah kedua kakak beradik itu. Keduanya saling ancam.
Dengan disaksikan ribuan kera, bertarunglah Sugriwa dan Subali dengan amat sengitnya. Dengan penuh geram keduanya bergantian menyerang, tinju-meninju, cekik-mencekik, cakar-mencakar dan bergulat tindih-menindih. Debu berkepulan. Masing-masing memeras tenaga, beradu dan berlaga dengan sengitnya.
Pertarungan kedua kakak-beradik itu belum berakhir juga. Sugriwa dengan sekuat tenaga mencabut sebatang pohon tal, lalu dihantamkannya kepada Subali. Subali rubuh, tapi ia segera bangkit lagi. Subali memuncak amarahnya. Sugriwa ditangkapnya, lalu dilemparkannya jauh-jauh.
Sugriwa mendekati Rama dan bertanya mengapa Rama belum juga membantu. Rama menjawab bahwa ia ragu-ragu untuk melepaskan panahnya karena Sugriwa dan Subali amat mirip . Rama menyuruh Sugriwa berkalung janur agar mudah dibedakan dari Subali.
Tak lama kemudian Sugriwa dengan berkalungkan janur kembali ke medan pertarungan. Ditantangnya Subali bertanding lagi. Mendengar tantangan Sugriwa itu, Subali pun semakin membara amarahnya. Diterkamnya Sugriwa, lalu diringkusnya sampai ia tak dapat bergerak sama sekali. Pada saat itulah Rama mengangkat busurnya. Dibidiknya Subali, dan sesaat kemudian terlepaslah anak panah dari busur Rama. Panah itu menancap di dada Subali, dan rubuhlah Subali ke tanah.
Terlepaslah Sugriwa dari bahaya maut. Tetapi setelah melihat mayat Subali, hatinya menjadi sedih. Betapa sengit permusuhan kedua saudara itu. Setelah Sugriwa menyaksikan kematian kakaknya, ia pun tak dapat menahan air matanya.
Sambil terisak-isak dirangkulnya tubuh kakaknya. Ketika Rama mendekat, Sugriwa menyembah sambil mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Sugriwa dengan rela hati menyilakan Rama menjadi raja di Kiskenda. Rama menolaknya karena ia masih menjalankan perintah ayahandanya almarhum, yaitu hidup dalam pembuangan. Menurut pendapatnya, sudah sewajarnyalah jika Sugriwa kini menduduki takhta Kerajaan Kiskenda.
Rama berpesan agar Anggada, yaitu putra Subali, diambil anak oleh Sugriwa. Begitu pula Dewi Tara, yaitu ibu Anggada, supaya diangkat sebagai permaisuri. Sugriwa menyatakan akan memenuhi perintah Rama, lalu menyembahlah ia di hadapan satria Ayodya itu. Semua kera pengikut Sugriwa pun menyembah bersama-sama.
Sugriwa beserta para kera, yaitu Hanuman, Anggada, Susena, Hanila, Jambawan, Gaya, Gawaksa, dan pemuka kera lainnya datang menghadap Rama. Sugriwa berkata kepada para kera bahwa sebagai balas budi kepada Rama, maka seluruh bala tentara kera Kiskenda harus ikut mencari Sita yang hilang diculik Rahwana. Para kera pun menjawab bahwa mereka bersedia mencari Sita sampai dimanapun.
Sugriwa memerintahkan balatentara kera mencari Sita sampai ke daerah pegunungan Widarba dan Misori, pula sampai ke tanah Matsya, Kalingga, Kausika, Andra, Chola, Chera dan Pandya. Sungai-sungai Gangga, Jumna dan Serayu harus disusuri. Lembah-lembah yang dalam harus dituruni, dan gunung-gunung yang tinggi harus didaki.
Setelah menerima perintah Raja Sugriwa, maka balatentara Kiskenda berangkatlah. Mereka menyebar ke segenap penjuru. Setiap jurang ditengok, kalau-kalau Sita disembunyikan raja raksasa Rahwana di situ. Setiap gunung didaki, setiap semak dikuakkan. Mereka masuk ke dalam gua-gua, menjelajahi desa-desa, dan menyusuri pantai.
Namun usaha mereka sia-sia. Akhirnya mereka kembali ke Kiskenda tanpa membawa hasil. Lalu Sugriwa teringat bahwa ada sebuah pulau yang terletak di selatan. Pulau itu harus dijelajahi pula karena mungkin Sita disembunyikan Rahwana di tengah pulau itu.
Hanumanlah yang diserahi tugas oleh Sugriwa untuk meninjau keadaan pulau itu serta meneliti jejak raja raksasa Rahwana. Sugriwa yakin bahwa Hanuman akan sanggup menjalankan tugasnya.
Sebelum Hanuman berangkat, Rama menitipkan sebuah cincin kepadanya. Jika Hanuman bertemu dengan Sita, maka cincin itu menjadi bukti bahwa Hanuman adalah duta Rama.
Hanuman berangkatlah menuju arah selatan. Siang malam ia melompat-lompat tak kunjung lelah di antara pepohonan. Sebagai duta ia ingin melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya serta secepat-cepatnya.
Sesampainya di pantai selatan ia terhalang oleh lautan. Sebagai putra Dewa Bayu ia bersemadi meminta pertolongan agar diantarkan angin terbang ke Pulau Langka. Tak lama kemudian datanglah angin badai. Hanuman diterbangkan tinggi-tinggi ke angkasa dan melayang menuju Pulau Langka.
Setibanya di pulau itu ia berjalan mengendap-endap, kadang melompat-lompat melalui cabang-cabang pohon agar tidak tampak oleh raksasa penghuni pulau itu.
Akhirnya Hanuman tiba di sebuah taman yang indah permai. Burung-burung berkicau merdu di atas pohon angsoka, sedangkan di halaman berumput kijang-kijang berkeliaran dengan amannya.
Tampak seekor burung merak menengadah karena mendengar bunyi kicau burung yang merdu laksana nyanyian yang diiringi gamelan sorga Lokananta. Ekor merak itu berkembang, lalu menarilah ia berputar-putar di tengah taman.
Hanuman terpesona melihat segala keindahan taman itu. Tiba-tiba tampaklah olehnya seorang putri yang cantik jelita, duduk seorang diri di dalam taman itu. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, rambutnya terurai kusut. Wajah putri itu tepekur sayu.
Hanuman yakin bahwa putri itu pastilah Sita, istri Rama. Sambil duduk di atas sebuah cabang pohon angsoka Hanuman menembang. Adapun lagunya mengenai kisah Rama, mulai dari pembuangannya di hutan Dandaka bersama Sita dan Laksamana, penculikan Sita oleh raja raksasa Rahwana, kesedihan Rama dalam mencari istrinya, lalu perjumpaannya dengan Sugriwa, dan akhirnya mengutus Hanuman mencari Sita ke Negeri Langkapura.
Sita heran mendengar tembang Hanuman, seakan-akan dia bermimpi. Hanuman pun turun dari pohon, lalu ia menyembah Sita serta mengatakan bahwa dirinya adalah utusan Rama.
Mula-mula Sita tidak percaya. Hanuman lalu memperlihatkan sebentuk cincin pemberian Rama. Maka percayalah Sita bahwa Hanuman memang utusan suaminya. Timbullah pula keyakinannya bahwa ia akan dapat bertemu lagi dengan Rama, terlebih setelah ia mendengar dari Hanuman bahwa Rama dengan bantuan raja kera Sugriwa akan datang menggempur Langkapura.
Sebelum Hanuman minta diri, Sita pun menitipkan sebentuk perhiasan rambutnya agar disampaikan kepada Rama sebagai tanda bakti dan setia.
Sebelum Hanuman pergi, ia sengaja merusak taman itu. Pohon-pohon ditumbangkannya, bunga-bunga dicabutinya, dan jambangan-jambangan digulingkannya. Pula, atap balai peranginan diruntuhkannya, dan bendungan kolam di dalam taman itu dibobolnya sehingga terjadi banjir.
Para raksasa penjaga taman mengira hal itu terjadi karena disebabkan oleh gempa atau banjir. Tetapi kemudian mereka melihat bahwa ada seekor kera putih yang merusak taman. Beramai-ramai mereka berusaha mengejar dan menangkapnya, tetapi Hanuman dengan gesit selalu dapat menghindar.
Para raksasa itu segera memberitahukan hal tersebut kepada Indrajit, putra mahkota Langkapura. Demi melihat kerusakan taman istana itu, Indrajit pun marah. Kemarahannya bertambah setelah ia melihat kera Hanuman yang seakan-akan mengejek sambil meloncat-loncat di atas pohon.
Indrajit segera mengangkat panah pusakanya, yaitu panah Nagapasa, sebuah panah yang dapat melilit sasarannya. Dipanahnya Hanuman saat itu juga. Panah itu segera melilit tubuh Hanuman. Dengan demikian para raksasa dapat menangkapnya.
Hanuman dibawa menghadap ke dalam istana. Betapa marahnya Rahwana ketika ia melihat kera putih yang telah merusak taman istananya. Tetapi betapa herannya Rahwana setelah ia mengetahui bahwa kera putih itu dapat berbicara.
Sambil memaki-maki, Rahwana bertanya kepada Hanuman mengapa Hanuman merusak tamannya sampai porak poranda. Hanuman menjawab bahwa ia adalah utusan Rama yang tengah mencari istrinya, Sita, yang diculik oleh Rahwana.
Rahwana tak dapat menahan amarahnya. Hanuman hendak dibunuhnya, tetapi adik Rahwana, yaitu Wibisana, mencegahnya. Dengan bijaksana ia berkata bahwa Hanuman sebagai utusan raja tidaklah patut dibunuh. Ia harus dikembalikan kepada raja yang mengutusnya. Lagi pula, bukankah Rahwana yang membuat kesalahan terlebih dahulu dengan menculik dan merampas istri Rama.
Rahwana menjadi semakin marah. Wibisana diusirnya agar pergi dari Negeri Langkapura. Rahwana pun memerintahkan para prajurit raksasa agar membakar Hanuman di tengah alun-alun. Para raksasa mengikat tubuh Hanuman lalu meletakkannya di atas tumpukan kayu bakar. Tumpukan kayu itupun disulut beramai-ramai. Api menyala-nyala dan berkobar-kobar. Tapi Hanuman tidak terbakar, bahkan ia berhasil melepaskan diri dari tali pengikatnya.
Dengan tangkasnya Hanuman meloncat-loncat sambil membawa bara api di ekornya. Ia meloncat ke atas balai peranginan dan membakar atap gedung tersebut. Ketika nyala api semakin membesar, Hanuman meloncat-loncat dari satu bangunan ke bangunan lainnya sehingga semua bangunan menjadi terbakar.
Demi melihat kejadian itu pasukan raksasa berusaha meringkus Hanuman. Namun kera perkasa itu dengan cepat dan mudahnya meloloskan diri dari kepungan bala tentara raksasa. Kota Langkapura dibuatnya gaduh. Banyak bangunan yang terbakar.
Setelah menempuh hutan belukar, barisan pasukan kera tibalah di pantai selatan. Mereka berhenti karena tidak mampu mengarungi samudra menuju Pulau Langka. Mereka mencoba menyeberangi selat itu, tetapi ombak dan gelombang selalu memukul mereka.
Rama segera mengambil panah pusakanya. Dilepaskannya sebuah anak panah dari busurnya menuju ke dalam samudra. Tak lama kemudian segala macam ikan, penyu, udang dan bermacam-macam jenis mahkluk lautan timbul ke atas permukaan samudra. Mereka mengerang kesakitan karena air laut yang terkena panah Rama itu mendidih dan bergumpal-gumpal.
Tiba-tiba di antara deburan gelombang muncullah secercah cahaya yang semakin lama semakin terang. Lalu tampaklah Dewa Baruna, yaitu dewa penguasa samudra. Ia memohon kepada Rama agar air samudra yang mendidih itu segera dapat pulih seperti sediakala. Rama bersedia, tetapi dengan syarat Sang Baruna harus bersedia menolong menyeberangkan balatentara kera menuju ke Pulau Langka.
Dewa Baruna menyatakan kesanggupannya membantu menyeberangkan balatentara kera. Ia menyarankan agar dibuat jembatan batu yang menghubungkan pantai itu dengan Pulau Langka sehingga para prajurit kera dapat menyeberang. Sekali lagi Rama melepaskan sebuah panah pusaka ke dalam samudra. Maka air lautan pun pulih kembali seperti sedia kala.
Sugriwa segera memerintahkan para prajurit kera mencari batu untuk ditumpuk di dalam laut sehingga menjadi sebuah jembatan. Puluhan ribu kera itu pun pergi ke gunung-gunung.
Batu-batu besar dipecahkan dan diusung beramai-ramai ke pantai, lalu ditenggelamkan ke dalam samudra. Batu-batu itu disusun sebagai landasan jembatan di dasar samudra, lalu ditumpuk meninggi sehingga mencapai permukaan laut. Susunan batu-batu itu dibuat memanjang sampai mencapai pantai Pulau Langka. Jembatan batu itu amat kuat sehingga dapat dilalui puluhan ribu balatentara kera.
Syahdan, Rahwana memerintahkan balatentara raksasa untuk menjaga pantai Pulau Langka. Sejak lolosnya Hanuman dari api pembakaran, Rahwana telah menduga bahwa suatu saat Rama beserta balatentara kera pasti akan datang menyerang Langkapura.
Prajurit-prajurit raksasa yang tengah berjaga-jaga di tepi pantai melihat ribuan kera yang sibuk membuat jembatan batu yang amat kokoh. Jembatan batu itu menghubungkan pantai di seberang dengan pantai Pulau Langka.
Raksasa-raksasa itu segera naik ke perahu hendak menyerang para prajurit kera yang sedang bekerja. Tetapi prajurit kera itu ternyata lebih berani dan lebih tangkas bertarung dibandingkan dengan mereka. Raksasa-raksasa penjaga pantai dikalahkannya.
Maka seluruh balatentara kera dibawah pimpinan Rama segera menuju pantai Pulau Langka dengan melalui jembatan batu yang amat kokoh itu. Atas perintah Dewa Baruna, segenap mahkluk lautan dengan patuh menjaga dasar jembatan itu sehingga selamatlah balatentara Rama tiba di Langkapura.

Lesmana
lesmana adalah adik dr rama wijaya





Barata






Raden Barata adalah anak Raja Ayodya, Prabu Dasarata dari istri Dewi Kekayi. Meski sesungguhnya bukan putra mahkota, namun ia diusulkan oleh ibunya untuk menjadi raja menggantikan ayahnya. Bagaimana kisahnya?

Tersebutlah di negara Ayodya. Meski rajanya, Prabu Dasarata sudah beristri cantik Dewi Kausalya (Ragu), namun masih ingin mempersunting wanita lain. Memang, mula-mula sang raja begitu gusar karena sudah bertahun-tahun menikah, belum juga dikaruniai keturunan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun belum kunjung berhasil.

Hidup menjadi raja dengan disanding istri cantik, pertama-tama memang menyenangkan. Namun, karena belum punya anak maka hidupnya terasa hampa. Padahal, menurut tabib istana, Prabu Dasarata dan Dewi Ragu sama-sama sehat dan tidak mandul. Saking pusingnya, sang raja sering pergi jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas.

Secara kebetulan, Prabu Dasarata bertemu dengan Dewi Kekayi, salah seorang putri negara tetangga. Perasaan hampa sang prabu terasa terisi oleh kecantikan dan senyum manis sang dewi. Tak hanya perasaan simpatik yang menyelimutinya. Tapi juga cinta yang begitu mendalam. Meski Dewi Kekayi setengah jual mahal, namun wanita ini juga memberikan tanda lampu hijau pada Prabu Dasarata.

Dewi Kekayi pun menuruti keinginan Prabu Dasarata. Namun, putri jelita ini memasang jerat (jebakan). Sebab, ia bersedia menjadi istri Prabu Dasarata dengan syarat kalau punya keturunan, anaknya itulah yang harus menggantikan Prabu Dasarata sebagai Raja Ayodya. Tanpa sadar, Prabu Dasarata pun menyanggupinya.

Akhirnya, jadilah Dewi Kekayi sebagai istri kedua Prabu Dasarata. Putri cantik jelita yang kemayu ini pun diboyong ke istana Kerajaan Ayodya. Meski menjadi istri kedua, diam-diam ia ingin selalu tampil dan mendapat perhatian lebih ketimbang Dewi Kausalya.

Nyaris Lupakan Janji

Selang beberapa tahun, ternyata para istri dan selir Prabu Dasarata mengandung dan melahirkan. Dari Dewi Kausalya lahir bayi laki-laki diberi nama Raden Rama. Dari Dewi Kekayi lahir bayi laki-laki diberi nama Raden Barata. Dari istri-istri yang lain lahir juga bayi laki-laki, diberi nama Raden Laksmana Widagdo dan Raden Satrugna.

Setelah anak-anaknya dewasa, Prabu Dasarata merasakan usianya sudah semakin tua (lanjut). Ia bermaksud untuk lengser keprabon (mengundurkan diri) dan menyerahkan tahta kepada anaknya yang tertua dari permaisuri (istri pertama) yakni Raden Rama yang terlahir dari Dewi Kausalya.

Semua punggawa dan keluarga kerajaan pun menyetujuinya. Apalagi, kini Raden Rama sudah punya istri, Dewi Sinta, putri dari Kerajaan Mantili. Dengan demikian, sudah sangat pantas untuk dinobatkan sebagai raja. Apalagi, Raden Rama tidak saja dikenal tampan dan berbudi pekerti luhur. Tapi juga, sangat sakti, ahli berperang dan sangat memahami ilmu ketatanegaraan.

Menjelang penobatan Raden Rama menjadi raja, tiba-tiba muncul Dewi Kekayi yang melakukan aksi protes. Dengan lantang dan sangat berani, Dewi Kekayi membeberkan masa lalunya bersama Prabu Dasarata. Padahal, ketika itu di tengah-tengah pasewakan (pertemuan) agung kerajaan. Sesuai janji Prabu Dasarata, maka Barata yang lebih berkah menjadi raja.

Betapa terkejutnya Prabu Dasarata mendengar protes Dewi Kekayi. Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Dengan penuh keterpaksaan, Prabu Dasarata mengabulkan protes itu. Di luar dugaan, ternyata Dewi Kekayi masih minta syarat tambahan. Apa itu? Menurutnya, belum cukup aman jika keputusannya hanya menobatkan Barata menjadi raja. Kalau Rama masih di istana kerajaan, maka dia bisa mengganggu. Karena itu, ia minta agar Rama dan istrinya diusir dan dibuang ke hutan selama 13 tahun. Setelah itu, barulah boleh kembali pulang ke istana.

Keketusan Dewi Kekayi terasa menghantam hati Prabu Dasarata yang sudah tua. Penyakit jantungnya pun langsung kambuh. Sang raja lanjut usia itu pun jatuh pingsan. Hingga akhirnya tak bangun-bangun, karena menghembuskan nafas yang terakhir alias mangkat. Seluruh keluarga Ayodya pun meratapi kematiannya.

Ternyata, Raden Barata tidak bersedia dinobatkan menjadi Raja Ayodya. Ia tahu diri, bahwa dirinya bukan putra mahkota. Ia tidak sependapat dengan ibunya. Sebab, yang sesungguhnya putra mahkota adalah Raden Rama. Maka, meski Raden Rama dan istrinya, Dewi Sinta, yang dikawal Raden Laksmana menjalani hidup sebagai orang buangan di hutan belantara, Raden Barata tetap menyusulnya. Secara khusus ia minta kepada Raden Rama untuk kembali ke istana dan dinobatkan menjadi raja. Tapi, Raden Rama menolaknya. Raden Barata pun sungkem dan menangis di pangkuan kakak sulungnya itu. Barulah Raden Rama melontarkan sebuah kebijakan: memberikan sepasang terompahnya sebagai simbol (wakil) dirinya menjadi raja yang diemban oleh Raden Barata. Barulah Raden Barata menerima dan kembali ke istana Ayodya.
satrugna 

Sugriwa


Sugriwa dikenal pula dengan nama Guwarsa (pedalangan). Ia merupakan putra bungsu Resi Gotama dari pertapaan Erraya/Grastina dengan Dewi Indradi/Windardi, bidadari keturunan Bathara Asmara. Sugriwa mempunyai dua orang saudra kandung masing-masing bernama : Dewi Anjani dan Subali.

Setelah menjadi wanara/kera, dalam perebutan Cupumanik Astagina, Sugriwa diperintahkan ayahnya untuk bertapa Ngidang (hidup sebagai kijang) di dalam hutan Sunyapringga apabila menginginkan kembali berwujud manusia. Atas jasa Resi Subali yang berhasil membunuh Prabu Maesasura dan Jatasura, Sugriwa dapat memperistri Dewi Tara dan menjadi raja di kerajaan Gowa Kiskenda serta wadya/ balatentara kera. Prabu Sugriwa juga menikah dengan Endang Suwarsih, pamong Dewi Anjani dan memperoleh seorang putra berwujud kera yang diberi nama Kapi Suweda.
Dewi Tara dan kerajaan Kiskenda pernah direbut oleh Resi Subali yang terkena hasutan jahat Prabu Dasamuka, raja negara Alengka. Dengan bantuan Ramawijaya yang berhasil membunuh Resi Subali dengan panah Gowawijaya, Sugriwa berhasil mendapatkan kembali Dewi Tara dan negaranya. Sebagai imbalannya, Sugriwa mengerahkan prajurit keranya membantu Ramawijaya membebaskan Dewi Sinta dari sekapan Prabu Dasamuka.
Ketika berlangsungnya perang Alengka, Sugriwa tampil sebagai senapati perang Prabu Rama. Ia berhasil membunuh beberapa senapati perang Alengka, antara lain; Pragasa, Kampana dan Gatodara. Setelah perang berakhir, Sugriwa kembali ke Gowa Kiskenda, hidup bahagia dengan istrinya, Dewi Tara. Ia tidak bisa kembali kewujud aslinya sebagai manusia, karena penyerahan dirinya kepada Dewata belum sempurna, masih terbelenggu oleh kenikmatan duniawi.
subali

Subali dikenal pula dengan nama Guwarsi (pedalangan).Ia putera kedua Resi Gotama, dari pertapan Erraya/Grastina, dengan Dewi Indradi/Windradi, bidadari keturunan Bhatara Asmara. Subali mempunyai dua orang saudara kandung masing-masing bernama ; Dewi Anjani dan Sugriwa/Guwarsa.

Karena rebutan Cupumanik Astagina dengan kedua saudaranya, ia berubah wujud menjadi kera setelah masuk ke dalam telaga Sumala. Untuk menebus kesalahannya dan agar bisa kembali menjadi manusia, atas anjuran ayahnya, Subali melakukan tapa Ngalong (seperti kelelawar) di hutan Sunyapringga. Atas ketekunannya bertapa, Subali mendapatkan Aji Pancasona, yang berarti hidup rangkap lima.
Resi Subali pernah mengalahkan Prabu Dasamuka, raja negara Alengka, bahkan kemudian Dasamuka menjadi muridnya untuk mendapatkan Aji Pancasona. Resi Subali juga berhasil membinasakan Prabu Maesasura, raja raksasa berkepala kerbau dari kerajaan Gowa Kiskenda bersama saudara seperguruannya Jatasura, berwujud harimau yang akan menghancurkan Suralaya karena lamarannya memperisteri Dewi Tara ditolak Bhatara Indra. Atas persetujuan Subali, Dewi Tara dan kerajaan Gowa Kiskenda diberikan kepada Sugriwa.
Akibat termakan tipu daya dan hasutan Prabu Dasamuka, Resi Subali merebut Dewi Tara dan istana Gowa Kiskenda dari tangan Sugriwa. Selama berhubungan dengannya, Dewi Tara hamil. Dengan bantuan Ramawijaya, Sugriwa dapat merebut kembali Dewi Tara dan istana Gowa Kiskenda. Akibat dari dosa dan kesalahannya Resi Subali dapat dibunuh oleh Ramawijaya. Daya kesaktian Aji Pancasona lenyap terhisap oleh daya kesaktian panah Gowawijaya. Sepeninggal Resi Subali, Dewi Tara melahirkan bayi berwujud kera berbulu merah yang diberi nama , Anggada.
———
Bali (Sanskerta: वाली; ValÄ«), atau yang di Indonesia lebih terkenal dengan sebutan Subali, adalah nama seorang raja Wanara dalam wiracarita Ramayana. Ia merupakan kakak dari Sugriwa, sekutu Sri Rama. Ketika terjadi perselisihan antara kedua Wanara bersaudara itu, Rama berada di pihak Sugriwa. Subali akhirnya tewas di tangan pangeran dari Ayodhya tersebut.
Subali juga dikenal dalam dunia pewayangan Jawa sebagai seorang pendeta Wanara berdarah putih yang tinggal di puncak Gunung Sunyapringga. Ia memiliki Aji Pancasunya (di daerah Sunda disebut Pancasona) yang membuatnya tidak bisa mati. Ilmu kesaktian tersebut diwariskannya kepada Rahwana, musuh besar Rama.
Asal-usul
Nama Subali berasal dari kata bala, yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “rambut”. Konon ia dilahirkan melalui rambut ibunya, sehingga diberi nama Bali atau Subali. Setelah dewasa, Subali menjadi raja bangsa Wanara di Kerajaan Kiskenda, sedangkan Sugriwa bertindak sebagai wakilnya.
Menurut versi Ramayana, Subali dan Sugriwa adalah sepasang Wanara kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi berbeda ayah. Keduanya sama-sama putra dewa. Subali adalah putra Indra, sedangkan Sugriwa merupakan putra Surya.
Berbeda dengan versi aslinya, dalam pewayangan Jawa, Subali dan Sugriwa pada mulanya terlahir sebagai manusia normal. Keduanya masing-masing bernama Guwarsi dan Guwarsa. Mereka memiliki kakak perempuan bernama Anjani. Ketiganya merupakan anak Resi Gotama dan Dewi Indradi yang tinggal di Pertapaan Agrastina.
Pada suatu hari Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa berselisih memperebutkan cupu milik ibu mereka yang luar biasa indahnya. Hal itu diketahui oleh Gotama. Indradi pun dipanggil dan ditanya dari mana cupu tersebut berasal. Gotama sebenarnya mengetahui kalau cupu itu adalah benda kahyangan milik Batara Surya yang bernama Cupumanik Astagina. Indradi yang ketakutan diam tak mau menjawab. Gotama yang marah karena merasa dikhianati mengutuk istrinya itu menjadi tugu. Ia lalu melemparkan tugu tersebut sejauh-jauhnya, sampai jatuh di perbatasan Kerajaan Alengka.
Meskipun kehilangan ibu, ketiga anak Gotama tetap saja memperebutkan Cupu Astagina. Gotama pun membuang benda itu jauh-jauh. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Cupu Astagina jatuh di sebuah tanah kosong dan berubah menjadi telaga. Guwarsi dan Guwarsa begitu sampai di dekat telaga itu segera menceburkan diri karena mengira cupu yang mereka cari jatuh ke dalamnya. Seketika itu juga wujud keduanya berubah menjadi wanara atau kera. Sementara itu Anjani yang baru tiba merasa kepanasan. Ia pun mencuci muka menggunakan air telaga tersebut. Akibatnya, wajah dan lengannya berubah menjadi wajah dan lengan kera.
Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa menghadap Gotama dengan perasaan sedih. Ketiganya pun diperintahkan untuk bertapa mensucikan diri. Anjani bertapa di Telaga Madirda. Kelak ia bertemu Batara Guru dan memperoleh seorang putra bernama Hanoman. Sementara itu Guwarsi dan Guwarsa yang telah berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Ketiga anak Gotama tersebut berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Sesuai petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya berendam telanjang seperti seekor katak, Subali menggantung di dahan pohon seperti seekor kelelawar, sedangkan Sugriwa mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang.
Penggabungan silsilah
Versi pewayangan Jawa yang bersumber dari naskah Serat Arjunasasrabahu, sebagaimana yang telah diceritakan di atas, rupanya telah menggabungkan silsilah beberapa tokoh dalam Ramayana.
Menurut versi Ramayana, antara Subali-Sugriwa dengan Anjani, Hanoman dan Gotama tidak memiliki hubungan keluarga. Anjani adalah istri Kesari, seorang raja Wanara. Ia mendapatkan titipan janin dari Bayu sang dewa angin, yang setelah lahir diberi nama Hanoman. Hanoman kemudian berguru kepada Surya, dewa matahari. Setelah tamat, ia ditugaskan menjadi pengawal putra gurunya yang bernama Sugriwa, saudara kembar Subali.
Sementara itu, Gotama versi Ramayana adalah seorang pertapa yang tidak memiliki sangkut paut dengan Subali. Menurut versi ini, Gotama memiliki istri bernama Ahalya, yang kecantikannya membuat Dewa Indra terpikat. Dengan bantuan Surya, Indra pun menyamar sebagai Gotama untuk bisa mendekati Ahalya. Hal itu akhirnya diketahui oleh Gotama. Indra dan Surya melarikan diri, sedangkan Ahalya dikutuk oleh suaminya tersebut menjadi batu.
Perkawinan
Subali memiliki seorang istri bernama Tara. Dari perkawinan tersebut lahir seorang putra bernama Anggada, yang kelak banyak berjasa dalam membantu Sri Rama melawan Rahwana.
Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Tara bukanlah istri Subali, melainkan istri Sugriwa. Ketika kedua wanara bersaudara itu bertapa untuk mensucikan diri sesuai petunjuk ayah mereka, datang Batara Narada yang diutus Batara Guru untuk meminta bantuan dalam menumpas musuh kahyangan, bernama Mahesasura raja Guakiskenda. Subali dan Sugriwa pun berangkat. Subali masuk ke dalam istana Kiskennda yang terletak di dalam gua. Ia berpesan jika kelak mengalir darah merah ke luar gua, berarti Mahesasura tewas. Namun jika yang mengalir darah putih berarti dirinya yang tewas. Apabila Subali terbunuh, Sugriwa diminta untuk segera menutup pintu gua dengan batu besar.
Subali pun masuk ke dalam gua di mana terdapat istana Kiskenda yang sangat indah. Di sana ia bertempur melawan Mahesasura yang dibantu kedua pengawalnya bernama Lembusura dan Jatasura. Ketiganya tewas dengan kepala pecah.
Darah dan otak mereka mengalir keluar gua. Sugriwa di luar mengira yang mengalir adalah darah merah dan darah putih. Dengan sedih ia menutup pintu gua lalu melapor ke kahyangan. Karena Mahesasura telah mati, sebagai hadiah, Sugriwa pun memperoleh seorang bidadari bernama Tara putri Batara Indra.
Di tengah jalan Sugriwa dan Tara dihadang Subali yang ternyata masih hidup. Subali menuduh adiknya itu berkhianat. Sugriwa pun dihajarnya tanpa ampun. Narada turun melerai dan mengisahkan apa yang sebenarnya terjadi. Subali sadar dan minta maaf. Ia merelakan Tara menjadi istri Sugriwa serta menyerahkan takhta Kiskenda peninggalan Mahesasura kepada adiknya itu. Subali memilih menjadi pertapa di Gunung Sunyapringga. Atas jasanya membunuh Mahesasura, Batara Guru memberinya anugerah dalam bentuk lain, yaitu ilmu kesaktian yang bisa membuatnya tidak bisa mati, bernama Aji Pancasunya (di daerah Sunda disebut Aji Pancasona).
Lukisan dari India yang dibuat sekitar abad ke-18,
menggambarkan persekutuan Rama dan Sugriwa
sampai dengan terbunuhnya Subali.
Hubungan dengan Rahwana
Versi Ramayana mengisahkan, Subali bersahabat dengan Rahwana raja bangsa Rakshasa dari Kerajaan Alengka. Pada mulanya mereka sempat berkelahi karena Rahwana datang untuk menaklukkan Kerajaan Kiskenda. Namun dalam pertarungan tersebut Rahwana kalah. Subali mengampuninya dan menjadikannya teman.
Versi pewayangan Jawa bahkan mengisahkan Rahwana kemudian berguru kepada Subali. Rahwana yang pandai bersandiwara berhasil meyakinkan Subali bahwa dirinya telah bertobat. Subali pun mengajarkan Aji Pancasunya kepadanya. Ia juga selalu menasihati Rahwana supaya menggunakan ilmu tersebut di jalan kebenaran.
Rahwana yang telah memperoleh ilmu baru berniat melanjutkan aksinya untuk menguasai dunia. Terlebih dahulu ia berusaha menyingkirkan Subali yang dianggapnya sebagai penghalang. Ia pun mengirim pembantunya yang bernama Marica untuk menyamar sebagai pelayan Tara. Pelayan palsu jelmaan Marica itu datang dan melapor kepada Subali bahwa Tara setiap hari disiksa Sugriwa. Konon Sugriwa juga mengungkit-ungkit nama Subali setiap kali menyiksa Tara. Subali marah mendengar laporan tersebut. Ia pun mendatangi Sugriwa di Kiskenda. Sugriwa dihajar tanpa ampun. Tubuhnya dilemparkan sampai jatuh dan terjepit di sepasang pohon asam kembar di puncak Gunung Reksyamuka. Subali kemudian menetap di Kerajaan Kiskenda serta menikahi Tara. Dari perkawinan itu kemudian lahir Anggada.
Perselisihan dengan Sugriwa
Kisah perselisihan Subali dan Sugriwa menurut versi pewayangan Jawa di atas agak berbeda dengan versi aslinya. Menurut versi Ramayana, sejak awal Subali sudah menjadi raja di Kerajaan Kiskenda. Kemudian datang seorang Rakshasa bernama Dundubi yang manantangnya adu kesaktian. Dalam pertarungan itu Dundubi berhasil dikalahkan. Ia melarikan diri sampai ke Gunung Reksyamuka tempat pertapaan Resi Matangga. Di pertapaan itu Subali membunuh Dundubi. Resi Matangga marah karena pertapaannya dikotori. Ia pun mengutuk Subali akan mati jika berani menginjakkan kaki di Gunung Reksyamuka.
Subali kemudian bertemu saudara Dundubi yang bernama Mayawi. Keduanya pun bertarung. Mayawi kalah dan melarikan diri ke dalam gua. Subali terus mengejarnya. Sugriwa ikut mengejar namun menunggu di luar gua. Ia mendengar suara raungan kakaknya dan melihat darah mengalir keluar gua. Sugriwa sedih dan mengira Subali telah tewas. Sugriwa kembali ke Kiskenda dan didesak rakyatnya untuk menjadi raja baru menggantikan Subali. Tiba-tiba Subali muncul dengan penuh rasa marah. Ternyata yang tewas adalah Mayawi, bukan dirinya. Ia pun menghajar Sugriwa sedemikian rupa. Sugriwa yang ketakutan melarikan diri ke Gunung Reksyamuka, di mana Subali tidak berani mengejarnya.
Subali terbunuh di tangan Rama. Sebuah lukisan dari India,
dibuat pada zaman kekaisaran Mughal, sekitar abad ke-16.
Kematian
Sugriwa bersembunyi di Gunung Reksyamuka ditemani Hanoman yang setia kepadanya. Hanoman berhasil mempertemukan Sugriwa dengan Sri Rama, seorang pangeran dari Ayodhya yang kehilangan istri karena diculik oleh Rahwana. Keduanya pun mengadakan kesepakatan. Rama akan membantu Sugriwa memperoleh kembali takhta Kiskenda, sedangkan Sugriwa berjanji akan membantu Rama menyerang negeri Rahwana.
Sesuai rencana, Sugriwa pun datang ke istana Kiskenda untuk menantang Subali bertanding. Subali yang marah hendak menghadapi Sugriwa, namun dicegah oleh Tara, istrinya. Tara mencurigai Sugriwa yang dulu pernah kalah tapi kini tiba-tiba berani datang untuk menantang bertarung. Namun Subali tidak menghiraukan nasihat istrinya itu. Ia memilih keluar untuk melayani tantangan adiknya. Antara Subali dan Sugriwa pun segera terjadi pertarungan sengit. Dari kejauhan, Rama yang ditemani adiknya, Laksmana, serta Hanoman, membidikkan panah ke arah Subali. Namun ia merasa bingung membedakan kedua Wanara kembar tersebut. Sugriwa yang kewalahan memilih melarikan diri. Rama datang menemui Sugriwa yang marah-marah karena merasa dikhianati. Rama mengaku bingung dan takut salah menyerang. Sugriwa pun dimintanya menantang Subali sekali lagi dengan mengenakan kalung untaian bunga sebagai penanda (dalam pewayangan Sugriwa diminta memakai kalung janur kuning).
Sugriwa kembali bertarung melawan Subali. Saat Sugriwa terdesak untuk yang kedua kalinya, Rama muncul dan melepaskan panahnya ke dada Subali. Subali pun roboh tak sempat menghindar. Subali yang sekarat dalam keadaan marah menghina Rama sebagai kesatria pengecut yang tidak tahu dharma. Mendengar penghinaan itu, Rama menjelaskan bahwa Subali sebenarnya telah berdosa, karena apabila masih suci, panah sakti milik Rama tidak akan mampu menembus kulitnya, bahkan senjata tersebut akan berbalik menyerang Rama. Setelah mendengar penjelasan yang panjang lebar dari Rama, Subali menyadari dosa-dosa dan kesalahannya kepada Sugriwa. Ia pun meminta maaf dan meminta agar Sugriwa merawat putranya yang bernama Anggada dengan baik. Subali juga merestui Sugriwa menjadi raja Kiskenda. Setelah itu, ia pun akhirnya meninggal dunia.
Menurut versi pewayangan, meskipun Subali memiliki Aji Pancasunya, namun saat itu ajalnya telah ditentukan oleh dewata. Oleh karena itu, ilmu tersebut sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana biasanya.
Reinkarnasi Subali
Menurut susastra Hindu, karena Rama telah membunuh Subali, maka Subali pun bereinkarnasi dan membunuh inkarnasi Wisnu pada kehidupan selanjutnya. Konon atma Subali terlahir kembali sebagai seorang pemburu bernama Jara pada zaman Dwapara Yuga. Tokoh Jara inilah yang kemudian membunuh awatara Wisnu pada zaman tersebut, yaitu Sri Kresna meskipun tanpa sengaja. Setelah Jara melepaskan panahnya dan melukai kaki Kresna, Kresna pun moksa dan kembali ke Waikuntha.
Anoman






































Anoman berwujud kera putih, tetapi dapat berbicara dan beradat-istiadat seperti manusia. Ia juga dikenal dengan nama ; Anjanipura (putra Dewi Anjani), Bayudara (putra Bathara Bayu), Bayusiwi, Guruputra (putra Bathara Guru), Handayapati (mempunyai kekuatan yang sangat besar), Yudawisma (panglima perang), Haruta (angin), Maruti, Palwagaseta (kera putih), Prabancana, Ramandayapati (putra angkat Sri Rama), Senggana (panglima perang), Suwiyuswa (panjang usia) dan Mayangkara (roh suci, gelar setelah menjadi pendeta di Kendalisada).

Anoman adalah putra Bathara Guru dengan Dewi Anjani, putri sulung Resi Gotama dengan Dewi Windradi dari pertapaan Erriya/Grastina.Anoman merupakan makluk kekasih dewata. Ia mendapat anugerah Cupumanik Astagina, juga ditakdirkan berumur panjang, hidup dari jaman Ramayana sampai jaman Mahabharata, bahkan sampai awal/memasuki jaman Madya. Anoman memiliki beberapa kesaktian. Ia dapat bertiwikrama, memiliki Aji Sepiangin (dari Bathara Bayu), Aji Pameling (dari Bathara Wisnu), dan Aji Mundri (dari Resi Subali). Tata pakaiannya yang melambangkan kebesaran, antara lain ; Pupuk Jarotasem Ngrawit, Gelung Minangkara, Kelatbahu Sigar Blibar, Kampuh/Kain Poleng berwarna hitam, merah dan putih, Gelang/Binggel Candramurti dan Ikat Pinggang Akar Mimang.

Anoman tiga kali menikah. Pertama dengan Dewi Urangrayung, putri Bagawan Minalodra dari Kandabumi. berputra Trigangga/Triyangga, berujud kera putih. Istri kedua bernama Dewi Sayempraba, putri raksasa Wisakarma dari Gowawindu, tidak mempunyai anak.

Anoman kemudian menikah dengan Dewi Purwati, putri Resi Purwapada dari pertapaan Andonsumawi, berputra Purwaganti. Anoman mempunyai perwatakan ; pemberani, sopan-santun, tahu harga diri. setia. prajurit ulung, waspada, pandai berlagu, rendah hati, teguh dalam pendirian, kuat dan tabah. Ia mati moksa, raga dan sukmanya lenyap di pertapaan Kendalisada.
Anggada

Anggada adalah pangeran bangsa Wanara, putra dari Subali dan Tara yang dibesarkan pamannya bernama Sugriwa. Ia banyak berjasa dalam Perang Sarikudup Palwaga, dan mendapatkan julukan Jaya Anggada.

Dalam versi Sanskerta, tokoh ini disebut dengan nama Angada, putra dari Bali dan Tara.

Anila

Anila adalah patih Kerajaan Guwakiskenda mendampingi Sugriwa, yang ikut membantu Sri Rama menggempur Kerajaan Alengka. Anila merupakan putra Batara Narada.
Dalam versi Sanskerta, tokoh ini disebut dengan nama Nila.

Anjani

Anjani adalah wanita berwajah kera, ibu dari Anoman. Ia adalah putri Resi Gotama dan Indradi, serta kakak sulung Subali dan Sugriwa.

Dalam versi Sanskerta, tokoh ini disebut dengan nama Anjana, istri dari Kesari. Ia adalah ibu Hanuman, tetapi bukan kakak Bali dan Sugriva.

Kapi anjal wilis

Memiliki istri yaitu dewi anjal wati,ciri ciri berwarna kelabu dan memiliki punuk

Kapi Anala
Kapi Anala memiliki wujud yang mirip dengan Anila hanya saja Kapi Anala memiliki bulu merah. Kapi Anala pujaan Batara Brahma. Karena kesaktiannya ia menjadi salah satu bupati di kerajaan Guakiskendha pada pemerintahan Prabu Sugriwa. Sebagai ahli seni dan bangunan, Ia bersama Kapi Nala dan Anila berperan penting dalam pembangunan tambak ke Alengka sebagai jembatan penghubung tanah India dengan Alengka (Srilangka). Kapi Anala bisa mengeluarkan hawa panas yang luar biasa jika ada dalam keadaan marah. kesaktian ini juga dimiliki oleh Kapi Anggeni.

Kapi Nala
Kapi Nala putra Batara Wiswakrama. Karena ayahnya adalah dewa ahli bangunan dan arsitek di kayangan maka Kapi Nala juga sangat ahli dalam hal bangunan. Ia menjadi arsitek utama pembangunan tambak/jembatan ke Alengka. Karyanya yang lain adalah perkemahan Swelagiri sebagai markas pasukan kera di pesisir Alengka. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh beberapa kera ahli seni dan bangunan seperti Kapi Anila dan Kapi Anala. Kapi Nala memiliki saudara yang bernama Dewi Sayempraba. Dewi Sayempraba diperistri oleh Dasamuka. Sebenarnya misi Kapi Nala dalam penyerangannya ke Alengka selain untuk membantu Rama membebaskan Dewi Sinta juga untuk membebaskan ayahnya yang ditawan Dasamuka yang menuntut untuk dibangunkan kembali istana Alengka yang megah dalam waktu satu malam setelah sebelumnya dikacaukan oleh Anoman pada saat Anoman menjadi duta Ramawjaya ke Alengka

Kapi Anggeni
Kapi Anggeni adalah kera pujaan Batara Agni, karena itu Kapi Anggeni dapat mengeluarkan hawa panas yang dapat meleburkan apa saja. Ia berwujud seekor kera yang berbulu merah dan berambut api.
Ia merupakan seekor kera yang berperan penting di dalam kisah pewayangan karena perannya dalam membantu penyerangan ke Alengka, tetapi bukan tokoh yang baku.

Kapi kalawandru
Kapi kalawandru adalah kera yang memiliki rambut api. Ia merupakan hasil pujaan Batara Yamadipati. Jika dilihat sepintas, Kapi Kalawandru memiliki wujud yang hampir sama dengan Kapi Anggeni, hanya saja Kapi Kalawandru tidak berbulu merah dan memakai sampur (sampur = semacam selendang yang ditaruh di pundak).

Kapi Kesari
Kapi Kesari mempunyai wujud kera berambut api dan badannya bersisik seperti ikan, ciptaan Batara Temboro. Kapi Kesari tewas dalam penyerangan ke Alengka oleh Trinetra (Anak Dasamuka).

Kapi Bauwinata
Kera ini ukurannya kecil dan pendek tetapi memiliki tenega yang sangat besar. Dibalik kekuatannya yang besar itu, ia sangat bodoh sehingga selalu menjadi pesuruh. Awalnya ia hanyalah kera hutan biasa yang kemudian diangkat sebagai salah seorang bupati kera oleh Prabu Sugriwa.

Kapi Endrajanu
Kapi Endrajanu diciptakan oleh Batara Kesawa. Ciri-cirinya yaitu seekor kera berbulu hijau dan memiliki jalu (beberapa dalang menyebut bahwa Endrajanu memiliki siku berupa trisula) yang digunakan sebagai senjata. Dalam perang Alengka, ia membunuh salah seorang suami dari Dewi Sarpakenaka (adik Dasamuka), yang bernama Kaladusana.

Kapi Mahendrajanu
Berwujud mirip dengan Kapi Endrajanu, hanya saja ia memiliki bulu berwarna ungu kecoklatan. Kera ini juga diciptakan oleh Batara Anggajali, seorang empu pembuat pusaka para dewa

Kapi Cocak Rawun
Kapi Cocak Rawun memiliki keahlian bertempur di udara. Ia sebagai koordinator dalam perang ke Alengka lewat udara bersama pasukan-pasukan kera yang mahir terbang. Dalam melaksanakan tugasnya ia dibantu oleh beberapa bupati kera antara lain adalah Kapi Sempati, Kapi Lembudara, dan Kapi Sambodara. Kapi Cocak Rawun adalah ciptaan Batara Candra.

Kapi Handoko
Kera ini berwujud kera berkepala banteng. Karena perannya tidaklah besar maka ia sangat jarang disebut dalam cerita Ramayana. Ia juga memiliki nama lain yaitu Kapi Gawaksa. Kapi Handoko adalah kera ciptaan Batara Surya

Kapi Sarpacitra
Kapi sarpacitra adalah kera pujaan Batara Cakra, seorang dewa yang juga berkedudukan sebagai pujangga kayangan. Ia berwujud kera berkepala ular dan memiliki ekor yang sangat panjang. Sarpacitra berperan penting dalam penyeberangan pawukan kera ke Alengka. Hal itu dikarenakan ia bersama dengan Kapi Cacingkanil / Wercita yang juga memiliki ekor panjang. Ekor tersebut digunakan untuk menarik keluar Ditya Yuyu Rumpung dari air untuk dihabisi oleh Kapi Yuyu Kingkin.

Kapi Suweda
Kapi Suweda berujud wanara/kera berbulu hitam legam. Ia merupakan putra tunggal Prabu Sugriwa, raja kera negara Gowa Kiskenda dengan istri Endang Suwarsih, wanita pengidung dan pamong Dewi Anjani, kakak Prabu Sugriwa. Kapi Suweda sangat tekun bertapa sehingga menjadi sangat sakti. Kesaktian dan ketangkasannya hanya dapat diungguli oleh Anggada dan Anoman.

Kapi Menda
Kapi Menda dahulunya berwujud manusia. Ia adalah cantrik Resi Gotama di pertapaan Erraya/Grastina dan menjadi pengasuh Sugriwa/Guwarsa, akibat peristiwa rebutan Cupumanik Astagina dan ikut terjun ke dalam telaga Sumala, Menda berubah wujud menjadi wanara/kera dan namanya menjadi Kapimenda.

Seperti halnya Sugriwa, Kapimenda juga melakukan tapa ngidang karena ingin berubah wujud kembalimenjadi manusia. Karena tapanya itu, ia menjadi sangat sakti. Kapimenda berwatak; jujur, setia dan sangat patuh, ketika Sugriwa menjadi raja kerajaan Gowa Kiskenda, Kapimenda diangkat menjadi patih khusus dalam urusan keraton dan keprajuritan.

Kapimenda mempunyai andil yang sangat besar dalam mengamankan pembuatan tambak/jembatan penyeberangan di atas laut untuk menyeberangkan jutaan balatentara kera Alengka. Ia berhasil membunuh Yuyurumpung, raksasa berkepala ketam/yuyu punggawa Prabu Dasamuka yang selalu merobohkan bangunan tambak. Dalam perang Alengka, Kapimenda tampil sebagai salah satu senapati mendampingi Prabu Sugriwa tatkala menghadapi Arya Kumbakarna, adik Prabu Dasamuka dari kesatrian/negara Leburgangsa. Laskar perangnya berhasil mengobrak-abrik dan memukul mundur balatentara raksasa
Lemburgangsa.

Setelah perang Alengka berakhir, Kapimenda melanjutkan tapanya di hutan Suryapringga. Akhir hidupnya tak banyak diketahui sebagaimana halnya wanara lainnya.

Kapi Saraba
Kapi Saraba adalah wanara ciptaan Bathara Bayu. Ia ditugaskan sebagai pengasuh Anoman, kera putih putra Dewi Anjani dengan Bathara Guru/Sanghyang Manikmaya di pertapaan Grastina/Erraya setelah kematian Dewi Anjani. Kapi Saraba mempunyai suara yang sangat bagus dan mahir melagukan kakawin Kitab Weda. Ia juga pandai mendongeng, memiliki watak penyabar, telaten dan penuh kasih sayang.

Kapi Saraba memiliki kesaktian pada suaranya. Apabila marah dan berkereceh/mbeker (Jawa) dapat memecahkan telinga, menakutkan dan menggetarkan serta meruntuhkan hati musuhnya. Pekikikannya keras melengking dan dapat mematikan lawannya. Ketika Sugriwa menjadi raja di negara Gowa Kiskenda, Kapi Saraba ikut mengabdikan diri, dan menjadi hulubalang kepercayaan.

Sebagai Senapati perang laskar kera Gowa Kiskenda, Kapi Saraba mempunyai andil yang sangat besar dalam perang Alengka. Pekik dan bekerannya banyak mematikan raksasa-raksasa Alengka. Seperti halnya para wanara lainnya, setelah berakhirnya perang Alengka, akhir hidupnya tidak banyak diketahui.

Kapi Yuyu Kingkin
Kapi Yuyu Kingkin merupakan salah satu kera dari kerajaan Guakiskendha yang diangkat Sri Ramawijaya sebagai komandan istimewa setelah berhasil membunuh Ditya Yuyu Rumpung. Seperti namanya, ia kera yang berkepala kepiting pujaan Batara Rekatatama. Ia memiliki keahlian bertempur di dalam lautan

Kapi Permujabahu
Kapi Permujabahu juga sering disebut Kapi Pramudya adalah seekor kera cemeng atau memiliki bulu berwarna hitam dan berkepala kumbang. Pada awalnya ia adalah seekor kumbang yang selalu hinggap di setangkai bunga yang bernama kembang Dewaretna. Saat Dasamuka mengetahui bahwa kerajaannya akan diserang oleh jutaan kera, ia berpikir keras untuk mengatasi pasukan-pasukan kera tersebut. Prabu Dasamuka lalu mengambil kembang Dewaretna dari Batara Kuwera. Kembang tersebut berfungsi untuk mengatur nasib para kera di dunia. Setelah kembang tersebut direbut Dasamuka, Batara Kuwera memuja seekor kera yang berasal dari kumbang yang selalu bersama dengan kumbang tersebut. Kera itu ditugaskan oleh Batara Kuwera untuk mengambil kembali kembang Dewaretna yang saat itu dijaga oleh Patih Prahasta. Berkat penciumannya yang sangat tajam, Kapi Permujabahu dapat menemukan dan mengambil kembali kembang Dewaretna. Ia bersama Kapi Yuyu Kingkin dan Kapi Mudabawi diangkat menjadi komandan istimewa pasukan kera oleh Sri Rama berkat jasanya mengambil kembali kembang Dewaretna.

Kapi Baliwinata
Pahlawan kera berkepala burung betet ini dipuja oleh Batara Aswin. Ia tidak memiliki keistimewaan dan kesaktian, dan hanya sebagai pasukan kera biasa yang bisa terbang. Kapi Baliwinata ikut tewas di tangan pasukan raksasa dari Alengka

Kapi Baliwisata berwujud kera berkepala bebek. Ia merupakan pujaan Batara Aswan. Ia ikut menjadi pahlawan bersama para pasukan kera lainnya dan tewas oleh salah seorang putra Dasamuka.


kapi 




















terimakasih dan mohon maaf bila saya tdk mencantumkan sumber dan salah saya mohon maaf yg sebesar besarnya